PAPER
METODE PENANGKAPAN IKAN
BUBU
KELOMPOK : 58
ZIRZIS RIFALDIANTO C14120072
SUNARNI C14120075
DUTA ENGGARTYASTO C14120082
RIKZAN FADHILAH C14120083
DEPARTEMEN PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal di kalangan
nelayan variasi bentuknya banyak sekali, hampir setiap daerah perikanan
mempunyai model bentuk sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti: sangkar (cages),
silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak,
bulat setengah lingkaran, dan lain-lainnya. Bahan bubu umumnya dari anyaman
bambu (bamboo’s splitting or-screen). Secara garis besar bubu terdiri dari
bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb, dan pintu (Partosuwiryo,
2002).
Bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan
yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan
biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang.
Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih.
Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat
bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap
hidup-hidup dan hanya ikanikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung
besar pintu dan ukuran mata jaring) (IMAI, 2001).
Berdasarkan
cara operasi penangkapan, bubu dibagi menjadi 3 jenis yaitu, bubu dasar (stationary
fish pots), bubu apung (floating fish post) dan bubu hanyut (drift
fish pots). Bubu yang paling banyak
digunakan dalam perikanan Indonesia adalah bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara
meletakkan disela-sela karang atau tempat hunian ikan. Sesuai dengan namanya,
ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan dasar, ikan karang (termasuk
kerapu dan kakap merupakan ikan-ikan demersal) dan udang (Subani dan Barus,
1989).
Menurut
Subani dan Barus (1989) bahwa bentuk dari bubu bermacam-macam yaitu bubu
berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder (cylindrical),
gendang, segitiga memanjangkan (kubus), atau segi banyak, bulat dan setengah
lingkaran dan lain-lainya. Secara garis
besar bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan
pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat
dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel)
berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat
keluar dan pintu bubu merupakan bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.
Dalam
pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bubu dipasang
secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu satu pelampung. Cara
kedua dipasang secara bergandengan (umumnya bubu berukuran kecil sampai sedang)
dengan menggunakan tali utama, sehingga cara ini dinamakan “longline trap”.
1.2
Tujuan
Untuk
mengetahui unit sumber daya, unit penangkapan, dan metode penangkapan dari alat
tangkap Bubu
II. PEMBAHASAN
2.1 Unit Sumber
Daya
Subani
dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara
pengoperasiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating
fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat
dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu
dengan satu tali pelampung atau single traps; dan beberapa bubu
dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line
traps.
Berikut ini merupakan jenis-jenis bubu yang beredar di Indonesia:
- Bubu Dasar
Bubu dasar bervariasi menurut besar
kecilnya penggunaan sesuai dengan kebutuhan. Bubu kecil umumnya berukuran
panjang 1 m, lebar 50-75 cm, dan tinggi diantara 25-30 cm. Untuk bubu besar
dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, dan tinggi antara 75-100 cm.
Bahan yang digunakan pada bubu dasar biasanya berupa kawat, besi, ataupun
bambu. Dalam pengoperasiaannya, penangkapan yang dilakukan dapat dilakukan
tunggal(umumnya bubu ukuran besar), dapat pula berganda (umumnya bubu kecil
atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali yang memiliki
jarak tertentu kemudiaan diikatkan dengan bubu tersebut. Bubu dasar ditempatkan
diantara karang-karang atau bebatuan, dan untuk memudahkan penempatan bubu
tersebut dipasangkan tali yang dipasang dengan pelampung kemudian diikatkan di
bubu tersebut. Tahap pengambilan hasil tangkapan setelah pemasangan bubu yaitu
setelah 2-3 hari atau beberapa hari setelah bubu dipasang.
Menurut
statistik perikanan, Ditjenkan (1986) cit.
(Partosuwiryo, 2002) jumlah bubu yang tercatat sejumlah 7.062 unit (jumlah
seluruh alat penangkap 452.845 unit) dengan produksi 16.871 ton.
Gambar 1. Bentuk bubu yang banyak dipakai di Indonesia
(Anonim, 1975)
Gambar 2. Bubu segi empat saat dioperasikan (bawah) dan pemasangan
bubu sistem tunggal (atas)
(Partosuwiryo, 2008)
Gambar 3. Bubu silinder (kiri) dan cara pengoperasiannya
(kanan)
(FAO, 2001)
- Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Tipe
bubu apung berbeda dengan bubu dasar karena bubu jenis ini dilengkapi dengan
pelampung dari bambu, rakit, gabus, dan berbagai bahan yang mengapung lainnya.
Penempatan pelampung yaitu dengan ditempatkan diatas atau disamping bubu sehingga
mengapung. Selain itu, bubu juga dapat ditempatkan di bawah rakit-rakit bambu
kemudian rakit tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan
jangkar. Perlu diperhatikan dalam pemasangan tali harus disesuaikan dengan
kedalaman air. Biasanya dalam pemasangan tali jangkar dan rakit bubu yaitu 1,5
kali dari kedalaman air atau dapat dikatakan tali lebih panjang dari kedalaman
air. Jangkar yang digunakan dapat berupa batu, besi, atau pemberat lainnya agar
rakit yang dipasang bubu dalam kondisi tetap dan tidak berpindah terlalu jauh
dari lokasi pemasangan bubu. Beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan bubu
terapung adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti ikan tembang, japuh,
julung-julung, selar, kembung, torani, malalugis, dan lain-lainnya.
Gambar 4. Cara pengoperasian bubu apung
(FAO, 2001)
- Bubu Hanyut ( Drifting Fish
Pots)
Bubu hanyut merupakan sebutan dari
salah satu jenis bubu karena dalam pengoperasiannya adalah dengan dihanyutkan.
Beberapa jenis bubu yang dapat digolongkan dalam bubu hanyut adalah pajaka,
luka, atau patorani. Bubu patorani dipergunakan untuk penangkapan ikan torani,
tuing-tuing, atau ikan terbang. Bubu pajaka tergolong dalam bubu ukuran kecil
namun pada waktu penangkapan diatur dalam kelompok-kelompok yang kemudian
dirangkaikan sehingga jumlahnya menajadi relatif banyak dan lebih efektif serta
efisien. Bubu jenis pajaka umumnya disusun antara 20-30 buah tergantung besar
kecilnya kapal yang digunakan untuk operasi penangkapan.
Menurut Partosuwiryo (2002),
operasional penangkapan bubu jenis pajaka dilakukan sebagai berikut:
·
Pada sekeliling mulut pajaka diikatkan rumput laut atau
“gusung/gosek” (bahasa Sulsel).
·
Pajaka disusun dalam 3 kelompok yang satu dengan lainnya
berhubungan melalui tali penonda (drifting line).
·
Penyusunan kelompok (contoh: misalnya ada kurang lebih 20
buah bubu), 10 buah bubu diikatkan pada ujung tali penonda terakhir, kelompok
berikutnya terdiri dari 8 buah dan selanjutnya 4 buah lalu disambungkan dengan
tali penonda yang langsung dihubungkan (diikat) dengan perahu penangkap dan
diulur antara 60-150 m.
Gambar 5. Bubu hanyut dan
pemasangannya di permukaan air
(Anonim, 1975)
2.1.1 Sumber Daya
Ikan
Hasil tangkapan
dengan bubu dasar umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik,
seperti Kwe (Caranx spp), Baronang (Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap ( Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji (Diagramma spp), Lencam (Lethrinus spp), udang penaeld, udang
barong, kepiting, rajungan, dll.
2.1.2 Musim Penangkapan Ikan
Menurut Adhawati
et al (2012), Musim penangkapan
didasarkan pada klasifikasi musim penangkapan yang berlaku umum dan telah
dikenal oleh masyarakat pada saat melakukan aktivitas penangkapan ikan kerapu
dengan menggunakan alat tangkap bubu yaitu:
1. Musim Timur, yaitu berlangsung selama 5 bulan mulai dari bulan
Desember - Bulan April
2. Musim Barat yaitu berlangsung selama 4 bulan mulai dari
bulan Mei - Agustus
3. Musim Peralihan yaitu
berlangsung selama 3 bulan mulai September – November
2.2 Unit Penangkapan Ikan
2.2.1 Jenis Kapal
Gambar 6.
Kapal penangkap ikan dengan bubu
(FAO,
2001)
Kapal motor yang digunakan pada perikanan bubu
memiliki kapasitas antara 0-5 GT, panjang kapal 8-10 m, lebar 2-3 m dan dalam
1-1,5 m, rata-rata menggunakan bahan dasar kayu. Kapal penangkap ikan dengan bubu
dibuat sedemikian rupa agar pada saat proses setting sampai hauling dapat
berjalan lancar. Penempatan ikan yang masih hidup dan ikan beku seperti gambar
diatas membutuhkan modal yang cukup besar sehingga kebanyakan nelayan hanya
menggunakan ikan segar yang dimasukkan dalam ice box.
2.2.2 Spesifikasi Alat Bubu
Umumnya bubu digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu:
- Badan atau tubuh bubu
Badan atau tubuh bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu
yang berbentuk empat persegi panjang. Bagian ini dilengkapi pemberat dari batu
bata (atau pemberat lain) yang terletak pada keempat sudut bambu agar bubu
dapat tenggelam ke dasar perairan.
- Lubang tempat mengeluarkan
hasil tangkapan
Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada
sisi bagian bawah bubu. Lubang ini posisinya tepat di belakang mulut bubu dan
dilengkapi dengan penutup.
- Mulut Bubu
Mulut bubu
berfungsi untuk tempat masuknya ikan yang terletak pada bagian depan badang
bubu. Posisi mulut bubu mejorok ke dalam badan atau tubuh bubu berbentuk
silinder. Semakin ke dalam diameter lubangnya semakin mengecil. Pada mulut
bagian dalam melengkung ke bawah. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk
sulit untuk meloloskan diri ( Sudirman dan Mallawa, 2004).
Gambar 1. Mulut bubu dan arah masuk ikan Gambar 2. Bagian bubu secara
keseluruhan
(FAO, 2007)
Gambar 3. Jenis-Jenis Bubu
(Partosuwiryo, 2008)
2.2.3 Nelayan
Nelayan yang terlibat dalam penangkapan dengan alat
bubu terdiri atas orang, yang terdiri dari seorang nahkoda dan tiga orang ABK
(salah seorang ABK juga ahli mesin). Ketiga ABK bertugas melakukan seluruh
kegiatan penangkapan ikan, seperti menurunkan dan mengangkat bubu, menangani
hasil tangkapan, memasak, membersihkan bubu dan kapal, dan lain-lain.
2.3. Metode Penangkapan Ikan
2.3.1 Persiapan
melakukan operasi penangkapan
Penangkapan
ikan dengan bubu tergantung dari tipe bubu yang digunakan, yaitu bubu
tenggelam, bubu terapung, ataupun bubu hanyut. Pada dasarnya prinsip
penangkapan ikan dengan bubu memakan tunggu waktu lebih dari 1 hari atau
beberapa hari. Hal ini dikarenakan bubu merupakan alat tangkap pasif yang hanya
menghadang dan merupakan perangkap (jebakan) bagi ikan. Semua jenis dan tipe
bubu menggunakan media untuk menarik ikan atau biota air lainnya agar tertarik
untuk datang ke dalam bubu, selain itu media umpan disesuaikan pula dengan ikan
yang akan ditangkap. Umpan yang digunakan antara lain adalah daging ayam,
daging hewan, ataupun lainnya yang dapat menarik ikan masuk ke dalam bubu.
2.3.2 Setting
Penangkapan ikan menggunakan bubu pada daerah karang
memiliki prinsip penangkapan yang sistematis. Langkah awal yaitu mencari dan
menentukan karang yang subur yang akan dipasang bubu. Bubu yang digunakan
berkisar ± 4 buah, dan dilabuh sampai dasar perairan. Bubu yang satu dengan
yang lainnya dikaitkan dengan tali, selain itu dipasangkan pula pada
masing-masing bubu tali lengkap dengan pelampungnya. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pengambilan sesuai waktu penangkapan. Cara yang digunakan tersebut
tergolong tidak efektif karena sering hilang akibat dicuri oleh orang lain.
Oleh karena itu, umtuk mencegahnya tali pengapung diperpendek sehingga tidak
akan terlihat di permukaan perairan dan hanya diketahui pemiliknya saja.
Langkah
terakhir dalam penangkapan menggunakan bubu yaitu di dalam bubu diberi umpan
dengan cara digantung untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi sebelum bubu
dipasang. Bubu dapat diangkat menggunakan tali pengait setelah beberapa hari
bedara di laut. Tali bubu dikait, kemudian ditarik ke atas perahu. Ikan0ikan
yang diperoleh segera dikeluarkan dari bubu dan bubu tersebut diturunkan lagi
ke dalam air bula ternyata hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Tetapi jika
hasil yang diperoleh sedikit, bubu tersebut dipindahkan ke daerah penangkapan
lain (Partosuwiryo, 2008).
2.3.3 Hauling
Alat bantu GPS (Global Positioning System) digunakan untuk
melihat posisi peletakan bubu. Peletakan lokasi bubu ditandai dengan
menggunakan GPS sehingga dapat terlacak keberadaan bubu. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi apabila pelampung tanda pada bubu hilang. Setelah
diketahui posisi bubu dengan GPS, maka dapat dilakukan proses Hauling.
Gambar
14. Proses hauling bubu jaring dan bamboo (Zulkarnaen,
2007)
Proses Hauling pada bubu
dilakukan dengan mengetahui posisi bubu terlebih dahulu dengan GPS. Langkah
selanjutnya adalah menurunkan arit yang dilengkapi tali yang lebih dari
kedalaman perairan. Setelah arit tersangkut pada bubu maka dilakukan proses
penarikan tali hingga bubu naik ke atas kapal. Tali yang ditarik ke atas kapal
dibantu orang lain untuk penggulungan tali agar tidak kusut dan tersangkut.
Proses hauling dilakukan sampai bubu yang dijatuhkan pada saat setting
dapat terangkat ke atas kapal semua. Apabila bubu sudah berada pada kapal,
ikan hasil tangkapan selanjutnya dimasukkan ke dalam es (cool box).
Hasil tangkapan ikan tiap bubu terkadang belum memuaskan, sehingga dilakukan setting
ulang hingga proses hauling sampai ikan hasil tangkapan cukup memuaskan.
Gambar 15. Ikan tangkapan (kiri)
(Zulkarnaen, 2007)
Gambar 16. Penyusunan ice box
untuk ikan segar (kanan)
(FAO, 2001)
Setelah
bubu naik ke kapal maka dilakukan proses pengeluaran hasil tangkapan (terlihat
pada gambar 15). Setelah ikan dikeluarkan dari bubu, selanjutnya adalah
memasukkan ikan ke dalam ice box.
Penyusunan ice box agar tetap dalam
kondisi yang baik dapat dilihat dari gambar 16. Tahap pertama pada perlakuan
ikan segar adalah memasukkan ikan pada satu ice
box kemudian setelah penuh maka ice
box ditutup. Tahap selanjutnya apabila masih banyak ikan yang tertangkap
dimasukkan ke dalam ice box sampai
penuh dan disusun di dalam tempat ikan yang lebih besat (biasanya terbuat dari sterofon). Setelah disusun sedemikian
rupa maka dilakukan pengangkutan ke darat dengan tepat waktu agar ikan masih
dalam kondisi yang baik.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Konstruksi alat tangkap bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau
ijeb, pintu, tali, penanda, dan umpan. Teknik pengoperasian alat tangkap
bubu dimulai dari setting sampai hauling yang diperlukan beberapa hari
untuk mendapatkan hasil tangkapan. Aplikasi bubu terhadap hasil
tangkapan ikan yaitu memiliki produktivitas tangkapan yang cukup tinggi dan
merupakan alat tangkap ramah lingkungan yang digunakan untuk keberlanjutan
usaha perikanan.
3.2 Saran
Perlu dikembangkan dan
disosialisasikan kemabali alat tangkap ramah lingkungan, misalnya bubu. Hal ini
dikarenakan dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan maka suatu usaha
perikanan dapat berjalan berkelanjutan dan lestari. Selain itu, dikarenakan
sudah terjadi kerusakan lingkungan perairan akibat alat tangkap yang berbahaya
dan merusak lingkungan serta perlunya modifikasi alat bubu agar lebih modern
dan hasil tangkpan menjadi melimpah serta diharapkan menjadi alat tangkap yang
efektif dan efisien dalam kegiatan penangkapan ikan
DAFTAR PUSTAKA
Adhawati S, Haidawati, Dewi MN. 2012. Identifikasi
Pendapatan Nelayan
Pancing Gurita (Octopus Sp.) Per Musim
Tangkapan Di Pulau Bonetambu
Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
Makassar. Sulawesi Selatan
Arthur Bowber, Nedeelec. 1976. Fisherman’s
Manual. England.
FAO. 2001. Fishing With Traps and Pots. FAO
Training Series. Australia.
Emil
Reppie. 2010. Pengaruh minyak cumi-cumi Pada umpan Bubu Dasar Terhadap Hasil Tangkapan
Ikan-ikan Karang.
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. Vol. VI-3.
IMAI. 2001. Country Status
Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Pedagangan dalam Perikanan Karang
di Indonesia. International Marinelife Alliance Indonesia. Bogor.
Partosuwiryo, S. 2002. Dasar-dasar Penangkapan
Ikan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Partosuwiryo, S. 2008. Alat Tangkap Ikan Ramah
Lingkungan. Citra Aji Parama. Yogyakarta.
Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat
Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia. Balai penelitian Perikanan laut.
Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
Sudirman
dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Zulkarnaen,
I. 2007. Pemanfaatan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) dengan Bubu di Perairan
Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak. Institut Tinggi Bandung. Bandung.
LAMPIRAN
Terima kasih informasi nya
BalasHapusTerima kasih informasi nya
BalasHapusTerima kadih infonya gan
BalasHapus