Minggu, 15 Maret 2015

PAPER METODE PENANGKAPAN IKAN




BUBU


KELOMPOK : 58

                                     ZIRZIS RIFALDIANTO     C14120072
 SUNARNI                             C14120075
 DUTA ENGGARTYASTO  C14120082
 RIKZAN FADHILAH         C14120083



 








DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

I.     PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan variasi bentuknya banyak sekali, hampir setiap daerah perikanan mempunyai model bentuk sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti: sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan lain-lainnya. Bahan bubu umumnya dari anyaman bambu (bamboo’s splitting or-screen). Secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb, dan pintu (Partosuwiryo, 2002).
Bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikanikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring) (IMAI, 2001).
Berdasarkan cara operasi penangkapan, bubu dibagi menjadi 3 jenis yaitu, bubu dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish post) dan bubu hanyut (drift fish pots).  Bubu yang paling banyak digunakan dalam perikanan Indonesia adalah bubu dasar.  Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakkan disela-sela karang atau tempat hunian ikan. Sesuai dengan namanya, ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan dasar, ikan karang (termasuk kerapu dan kakap merupakan ikan-ikan demersal) dan udang (Subani dan Barus, 1989).
Menurut Subani dan Barus (1989) bahwa bentuk dari bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjangkan (kubus), atau segi banyak, bulat dan setengah lingkaran dan lain-lainya.  Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu.   Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung.  Mulut bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.
Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan (umumnya bubu berukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tali utama, sehingga cara ini dinamakan “longline trap”. 

1.2        Tujuan
Untuk mengetahui unit sumber daya, unit penangkapan, dan metode penangkapan dari alat tangkap Bubu














II. PEMBAHASAN
2.1 Unit Sumber Daya
Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperasiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps; dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps.
Berikut ini merupakan jenis-jenis bubu yang beredar di Indonesia:
  1. Bubu Dasar
            Bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya penggunaan sesuai dengan kebutuhan. Bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm, dan tinggi diantara 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, dan tinggi antara 75-100 cm. Bahan yang digunakan pada bubu dasar biasanya berupa kawat, besi, ataupun bambu. Dalam pengoperasiaannya, penangkapan yang dilakukan dapat dilakukan tunggal(umumnya bubu ukuran besar), dapat pula berganda (umumnya bubu kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali yang memiliki jarak tertentu kemudiaan diikatkan dengan bubu tersebut. Bubu dasar ditempatkan diantara karang-karang atau bebatuan, dan untuk memudahkan penempatan bubu tersebut dipasangkan tali yang dipasang dengan pelampung kemudian diikatkan di bubu tersebut. Tahap pengambilan hasil tangkapan setelah pemasangan bubu yaitu setelah 2-3 hari atau beberapa hari setelah bubu dipasang.
            Menurut statistik perikanan, Ditjenkan (1986) cit. (Partosuwiryo, 2002) jumlah bubu yang tercatat sejumlah 7.062 unit (jumlah seluruh alat penangkap 452.845 unit) dengan produksi 16.871 ton.
Gambar 1. Bentuk bubu yang banyak dipakai di Indonesia
(Anonim, 1975)
Gambar 2. Bubu segi empat saat dioperasikan (bawah) dan pemasangan bubu sistem tunggal (atas)
(Partosuwiryo, 2008)
Gambar 3. Bubu silinder (kiri) dan cara pengoperasiannya (kanan)
(FAO, 2001)
  1. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
            Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar karena bubu jenis ini dilengkapi dengan pelampung dari bambu, rakit, gabus, dan berbagai bahan yang mengapung lainnya. Penempatan pelampung yaitu dengan ditempatkan diatas atau disamping bubu sehingga mengapung. Selain itu, bubu juga dapat ditempatkan di bawah rakit-rakit bambu kemudian rakit tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Perlu diperhatikan dalam pemasangan tali harus disesuaikan dengan kedalaman air. Biasanya dalam pemasangan tali jangkar dan rakit bubu yaitu 1,5 kali dari kedalaman air atau dapat dikatakan tali lebih panjang dari kedalaman air. Jangkar yang digunakan dapat berupa batu, besi, atau pemberat lainnya agar rakit yang dipasang bubu dalam kondisi tetap dan tidak berpindah terlalu jauh dari lokasi pemasangan bubu. Beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan bubu terapung adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti ikan tembang, japuh, julung-julung, selar, kembung, torani, malalugis, dan lain-lainnya.
Gambar 4. Cara pengoperasian bubu apung
(FAO, 2001)
  1. Bubu Hanyut ( Drifting Fish Pots)
            Bubu hanyut merupakan sebutan dari salah satu jenis bubu karena dalam pengoperasiannya adalah dengan dihanyutkan. Beberapa jenis bubu yang dapat digolongkan dalam bubu hanyut adalah pajaka, luka, atau patorani. Bubu patorani dipergunakan untuk penangkapan ikan torani, tuing-tuing, atau ikan terbang. Bubu pajaka tergolong dalam bubu ukuran kecil namun pada waktu penangkapan diatur dalam kelompok-kelompok yang kemudian dirangkaikan sehingga jumlahnya menajadi relatif banyak dan lebih efektif serta efisien. Bubu jenis pajaka umumnya disusun antara 20-30 buah tergantung besar kecilnya kapal yang digunakan untuk operasi penangkapan.
            Menurut Partosuwiryo (2002), operasional penangkapan bubu jenis pajaka dilakukan sebagai berikut:
·         Pada sekeliling mulut pajaka diikatkan rumput laut atau “gusung/gosek” (bahasa Sulsel).
·         Pajaka disusun dalam 3 kelompok yang satu dengan lainnya berhubungan melalui tali penonda (drifting line).
·         Penyusunan kelompok (contoh: misalnya ada kurang lebih 20 buah bubu), 10 buah bubu diikatkan pada ujung tali penonda terakhir, kelompok berikutnya terdiri dari 8 buah dan selanjutnya 4 buah lalu disambungkan dengan tali penonda yang langsung dihubungkan (diikat) dengan perahu penangkap dan diulur antara 60-150 m.
Gambar 5. Bubu hanyut dan pemasangannya di permukaan air
(Anonim, 1975)
2.1.1 Sumber Daya Ikan
Hasil tangkapan dengan bubu dasar umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, seperti Kwe (Caranx spp), Baronang (Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap ( Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji (Diagramma spp), Lencam (Lethrinus spp), udang penaeld, udang barong, kepiting, rajungan, dll.

2.1.2 Musim Penangkapan Ikan
Menurut Adhawati et al (2012), Musim penangkapan didasarkan pada klasifikasi musim penangkapan yang berlaku umum dan telah dikenal oleh masyarakat pada saat melakukan aktivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan alat tangkap bubu yaitu:
1. Musim Timur, yaitu  berlangsung selama 5 bulan mulai dari bulan Desember - Bulan April
2. Musim Barat  yaitu berlangsung selama 4 bulan mulai dari bulan Mei - Agustus
3. Musim Peralihan yaitu berlangsung selama 3 bulan mulai September – November
2.2 Unit Penangkapan Ikan
2.2.1 Jenis Kapal
Gambar 6. Kapal penangkap ikan dengan bubu
(FAO, 2001)
Kapal motor yang digunakan pada perikanan bubu memiliki kapasitas antara 0-5 GT, panjang kapal 8-10 m, lebar 2-3 m dan dalam 1-1,5 m, rata-rata menggunakan bahan dasar kayu. Kapal penangkap ikan dengan bubu dibuat sedemikian rupa agar pada saat proses setting sampai hauling dapat berjalan lancar. Penempatan ikan yang masih hidup dan ikan beku seperti gambar diatas membutuhkan modal yang cukup besar sehingga kebanyakan nelayan hanya menggunakan ikan segar yang dimasukkan dalam ice box.
2.2.2  Spesifikasi Alat Bubu
Umumnya bubu digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu:
  • Badan atau tubuh bubu
Badan atau tubuh bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk empat persegi panjang. Bagian ini dilengkapi pemberat dari batu bata (atau pemberat lain) yang terletak pada keempat sudut bambu agar bubu dapat tenggelam ke dasar perairan.
  • Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan
Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah bubu. Lubang ini posisinya tepat di belakang mulut bubu dan dilengkapi dengan penutup.
  • Mulut Bubu
Mulut bubu berfungsi untuk tempat masuknya ikan yang terletak pada bagian depan badang bubu. Posisi mulut bubu mejorok ke dalam badan atau tubuh bubu berbentuk silinder. Semakin ke dalam diameter lubangnya semakin mengecil. Pada mulut bagian dalam melengkung ke bawah. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan diri ( Sudirman dan Mallawa, 2004).


Gambar 1. Mulut bubu dan arah masuk ikan             Gambar 2. Bagian bubu secara keseluruhan
                                                             (FAO, 2007)
Gambar 3. Jenis-Jenis Bubu
(Partosuwiryo, 2008)
2.2.3 Nelayan
Nelayan yang terlibat dalam penangkapan dengan alat bubu terdiri atas orang, yang terdiri dari seorang nahkoda dan tiga orang ABK (salah seorang ABK juga ahli mesin). Ketiga ABK bertugas melakukan seluruh kegiatan penangkapan ikan, seperti menurunkan dan mengangkat bubu, menangani hasil tangkapan, memasak, membersihkan bubu dan kapal, dan lain-lain.
2.3. Metode Penangkapan Ikan
2.3.1 Persiapan melakukan operasi penangkapan
Penangkapan ikan dengan bubu tergantung dari tipe bubu yang digunakan, yaitu bubu tenggelam, bubu terapung, ataupun bubu hanyut. Pada dasarnya prinsip penangkapan ikan dengan bubu memakan tunggu waktu lebih dari 1 hari atau beberapa hari. Hal ini dikarenakan bubu merupakan alat tangkap pasif yang hanya menghadang dan merupakan perangkap (jebakan) bagi ikan. Semua jenis dan tipe bubu menggunakan media untuk menarik ikan atau biota air lainnya agar tertarik untuk datang ke dalam bubu, selain itu media umpan disesuaikan pula dengan ikan yang akan ditangkap. Umpan yang digunakan antara lain adalah daging ayam, daging hewan, ataupun lainnya yang dapat menarik ikan masuk ke dalam bubu.
2.3.2 Setting
Penangkapan ikan menggunakan bubu pada daerah karang memiliki prinsip penangkapan yang sistematis. Langkah awal yaitu mencari dan menentukan karang yang subur yang akan dipasang bubu. Bubu yang digunakan berkisar ± 4 buah, dan dilabuh sampai dasar perairan. Bubu yang satu dengan yang lainnya dikaitkan dengan tali, selain itu dipasangkan pula pada masing-masing bubu tali lengkap dengan pelampungnya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan sesuai waktu penangkapan. Cara yang digunakan tersebut tergolong tidak efektif karena sering hilang akibat dicuri oleh orang lain. Oleh karena itu, umtuk mencegahnya tali pengapung diperpendek sehingga tidak akan terlihat di permukaan perairan dan hanya diketahui pemiliknya saja.
Langkah terakhir dalam penangkapan menggunakan bubu yaitu di dalam bubu diberi umpan dengan cara digantung untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi sebelum bubu dipasang. Bubu dapat diangkat menggunakan tali pengait setelah beberapa hari bedara di laut. Tali bubu dikait, kemudian ditarik ke atas perahu. Ikan0ikan yang diperoleh segera dikeluarkan dari bubu dan bubu tersebut diturunkan lagi ke dalam air bula ternyata hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Tetapi jika hasil yang diperoleh sedikit, bubu tersebut dipindahkan ke daerah penangkapan lain (Partosuwiryo, 2008).
2.3.3 Hauling
Alat bantu GPS (Global Positioning System) digunakan untuk melihat posisi peletakan bubu. Peletakan lokasi bubu ditandai dengan menggunakan GPS sehingga dapat terlacak keberadaan bubu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila pelampung tanda pada bubu hilang. Setelah diketahui posisi bubu dengan GPS, maka dapat dilakukan proses Hauling.

        Gambar 14. Proses hauling bubu jaring dan bamboo (Zulkarnaen, 2007)
            Proses Hauling pada bubu dilakukan dengan mengetahui posisi bubu terlebih dahulu dengan GPS. Langkah selanjutnya adalah menurunkan arit yang dilengkapi tali yang lebih dari kedalaman perairan. Setelah arit tersangkut pada bubu maka dilakukan proses penarikan tali hingga bubu naik ke atas kapal. Tali yang ditarik ke atas kapal dibantu orang lain untuk penggulungan tali agar tidak kusut dan tersangkut. Proses hauling dilakukan sampai bubu yang dijatuhkan pada saat setting dapat terangkat ke atas kapal semua. Apabila bubu sudah berada pada kapal, ikan hasil tangkapan selanjutnya dimasukkan ke dalam es (cool box). Hasil tangkapan ikan tiap bubu terkadang belum memuaskan, sehingga dilakukan setting ulang hingga proses hauling sampai ikan hasil tangkapan cukup memuaskan.
Gambar 15. Ikan tangkapan (kiri)
(Zulkarnaen, 2007)
Gambar 16. Penyusunan ice box untuk ikan segar (kanan)
(FAO, 2001)
Setelah bubu naik ke kapal maka dilakukan proses pengeluaran hasil tangkapan (terlihat pada gambar 15). Setelah ikan dikeluarkan dari bubu, selanjutnya adalah memasukkan ikan ke dalam ice box. Penyusunan ice box agar tetap dalam kondisi yang baik dapat dilihat dari gambar 16. Tahap pertama pada perlakuan ikan segar adalah memasukkan ikan pada satu ice box kemudian setelah penuh maka ice box ditutup. Tahap selanjutnya apabila masih banyak ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam ice box sampai penuh dan disusun di dalam tempat ikan yang lebih besat (biasanya terbuat dari sterofon). Setelah disusun sedemikian rupa maka dilakukan pengangkutan ke darat dengan tepat waktu agar ikan masih dalam kondisi yang baik.







III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Konstruksi alat tangkap bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb, pintu, tali, penanda, dan umpan. Teknik pengoperasian alat tangkap bubu dimulai dari setting sampai hauling yang diperlukan beberapa hari untuk mendapatkan hasil tangkapan. Aplikasi bubu terhadap hasil tangkapan ikan yaitu memiliki produktivitas tangkapan yang cukup tinggi dan merupakan alat tangkap ramah lingkungan yang digunakan untuk keberlanjutan usaha perikanan.
3.2 Saran
Perlu dikembangkan dan disosialisasikan kemabali alat tangkap ramah lingkungan, misalnya bubu. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan maka suatu usaha perikanan dapat berjalan berkelanjutan dan lestari. Selain itu, dikarenakan sudah terjadi kerusakan lingkungan perairan akibat alat tangkap yang berbahaya dan merusak lingkungan serta perlunya modifikasi alat bubu agar lebih modern dan hasil tangkpan menjadi melimpah serta diharapkan menjadi alat tangkap yang efektif dan efisien dalam kegiatan penangkapan ikan









DAFTAR PUSTAKA
Adhawati S, Haidawati, Dewi MN. 2012. Identifikasi  Pendapatan   Nelayan  Pancing Gurita (Octopus Sp.) Per Musim  Tangkapan  Di Pulau Bonetambu Kecamatan Ujung Tanah  Kota Makassar. Makassar. Sulawesi Selatan
Arthur Bowber, Nedeelec. 1976. Fisherman’s Manual. England.
FAO. 2001. Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Australia.
Emil Reppie. 2010. Pengaruh minyak cumi-cumi Pada umpan Bubu Dasar Terhadap Hasil Tangkapan Ikan-ikan Karang. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. Vol. VI-3.
IMAI. 2001. Country Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Pedagangan dalam Perikanan Karang di Indonesia. International Marinelife Alliance Indonesia. Bogor.
Partosuwiryo, S. 2002. Dasar-dasar Penangkapan Ikan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Partosuwiryo, S. 2008. Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan. Citra Aji Parama. Yogyakarta.
Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia. Balai penelitian Perikanan laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
Sudirman dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Zulkarnaen, I. 2007. Pemanfaatan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) dengan Bubu di Perairan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak. Institut Tinggi Bandung. Bandung.

                                              



LAMPIRAN

3 komentar: